Analisis Buku ‘BANGSA INLANDER’ Potret Kolonialisme di Bumi Nusantara
Judul
Buku : ‘BANGSA INLANDER’
Potret Kolonialisme di Bumi Nusantara
Penulis : HM. Nasruddin
Anshoriy Ch
Penerbit : LkiS
Jumlah
Halaman : xxxii+198 Halaman
Tahun
Terbit : 2008
DESKRIPSI BUKU
Buku
dengan judul ‘BANGSA INLANDER’ Potret
Kolonialisme di Bumi Nusantara ditulis oleh seorang pengasuh Pesan Trend
Budaya Ilmu Giri yaitu HM. Nasruddin Anshoriy CH. Buku ini terdiri dari
beberapa bagian, mulai dari cover, pengantar redaksi, pengantar penulis,
pengantar dari Prof. Sartono Kartodirjo, daftar isi, pendahuluan dan sepuluh
bab isi. Dari kesepuluh bab itu diantaranya:
BAB I KEJAYAAN NUSANTARA DAN KEDATANGAN
BANGSA EROPA membahas mengenai bagaimana kejayaan Nusantara pada saat itu
dengan menunjukan betapa besarnya kekuasaan raja-raja/kesultanan yang beragama
islam sebelum kedatangan bangsa Eropa, seperti Kesultanan Mataram, Kesultanan
Banten, Aceh, Maluku ada kesultanan Ternate dan Tidore, semuanya itu memiliki
kekuasaan dengan daerah yang kaya akan rempah-rempah. Dilanjutkan dengan
kedatangan bangsa-bangsa eropa yang bertujuan untuk mencari rempah-rempah
khususnya ke Nusantara. Para pedagang eropa berdatangan seperti halnya dari
Negeri Belanda pertama kali tiba di Kesultanan Banten pada tahun 1596. Dalam
perkembangannya kemudian membentuk persekutuan dagang pada tanggal 20 maret
1602 yang diberi nama VOC atau kompeni. VOC dengan segala maksud, tujuan dan
haknya berhasil memonopoli perdagangan rempah-rempah di Nusantara.
BAB II PERLAWANAN PADA PENJAJAH
membahas mengenai perlawanan yang dilakukan oleh bangsa Pribumi terhadap
penjajah yang ada di Nusantara ini. Perlawanan ini terjadi di beberapa daerah
dan kesultanan. Pertama Kesultanan Mataram yang dipimpin oleh Raden Rangsang
(Sultan Agung). Perlawanan yang dilakukan oleh Sultan Agung bermula ketika
Kompeni diperbolehkan membuka kantor di Jepara. Karena ulah para pegawainya
yang tidak baik terhadap Mataram, membuat marah kesultanan, mereka membakar
kantor itu dan pegawainya ditahan. Mataram meminta agar Kompeni mengirim utusan
agar tahanan dibebaskan secara resmi, namun Coen memandang bahwa itu dapat
merendahkan derajat Kompeni. Bersama dengan itu pula mataram meminta bantuan
kepada kompeni agar membantu mereka untuk menaklukan surabaya dan Banten, namun
kompeni menolaknya. Perkembangan selanjutnya kompeni menerapkan politik pecah
belah dengan mula-mula membantu Amangkurat I dan berhasil memecah Mataram.
Begitu juga untuk melemahkan perlawanan dari Sultan Abdul Fatah/Sultan Ageng
Tirtayasa dengan mendekati Sultan Haji anak dari sultan Ageng untuk di adu
dombakan. Dan perlawanan masih berlanjut di daerah-daerah lain termasuk di
Maluku.
BAB III PERKUMPULAN DAGANG HINDIA TIMUR,
orang Eropa khususnya Belanda datang ke Nusantara tujuannya adalah untuk
mencari rempah-rempah dan berdagang. Diantara kapal-kapal yang tiba memiliki
perkumpulan dagang masing-masing. Sehingga pada tahun 1602 demi keamanan semua
perkumpulan itu bersatu menjadi VOC. Pada masa Cornelis de Houtman tiba di
Banten, mereka bertindak yang tidak disukai oleh rakyat sehingga mereka di
usir. Sedangkan pada masa Van Neck citra mereka yang kasar di bersihkan
kembali. Coen datang dengan berjaga-jaga karena takut diserang oleh mataram dan
Banten dengan mendirikan Benteng di Batavia. Selain itu ada juga Spanyol dan
Portugis yag sudah sebelumnya menguasai Maluku.
BAB IV REAKSI PADA POLITIK KOLONIALISME,
daerah perdagangan kompeni yang begitu luas baik di Indonesia maupun di luar
kepualauan. Akibat perdagangan yang skala internasional ini menjadikan masalah
dimana adanya suatu pengkhianatan yang dilakukan Belanda atas perjanjian
penanaman kopi dalam bidang harga, dan juga khusus di kalangan orang Sunda
adanya sistem tanam paksa. Sehingga memunculkan suatu reaksi terhadap politik
kolonialisme seperti perjuangan Untung Surapati dengan teman-teman senasibnya
melakukan perlawanan terhadap kompeni. Selanjutnya Sunan Mas dan Pangeran Puger
yaitu adanya perang saudara dan salah satunya buntut adanya hubungan dengan
Surapati sehingga pangeran Puger meminta bantan Kompeni dan dinobatkan dengan
gelar Pakubuwana. Selain itu ada juga kekacauan yang dilakukan oleh Pieter
Erberveld untuk melemahkan kompeni oleh budak di kapal Kompeni, reaksi dari
orang tionghoa, reaksi ratu Fatimah dan Panngeran Gusti di Banten.
BAB V PEMERINTAHAN DAN KORUPSI, kompeni/VOC
merupakan suatu badan perdagangan Belanda yang ada di Nusantara. Dalam
perkembangannya kini berangsur-angsur menjadi badan yang memiliki kedaulatan
negara. Berada dibawah kekuasaan Gubernur Jenderal serta kekuasaan tertinggi
ditangan Tuan XVII. Awalnya pengawasan pemerintahan Belanda sangatlah kurang
sehingga aturan-aturan yang sudah ditetapkan kurang berjalan dengan baik.
Peraturan-peraturan baru pun dibuat kembali berlaku hingga 1799. Pegawai tidak
diperbolehkan berdagang untuk keuntungan sendiri. namun banyak para pegawai
yang hidup mewah walaupun gajih mereka hanya 16 atau 24 rupiah. Hal itu
terlihat jelas bahwa timbulnya suatu gejala korupsi ditubuh kompeni/VOC. Untuk
mengatasi hal itu maka dilakukan usaha kearah perbaikan dimana pemerintah
Belanda tidak memberikan surat izin dan hak octrooi serta mengangkat Van Imhoff
menjadi Gubernur Jenderal. Kemudian selanjutnya untuk mencegah adanya
perdagangan gelap maka dibentuklah persekutuan dagang candu yaitu para pegawai
yang mencari keuntungan dengan menyeludupkan Candu. Selain itu ada pembagian
dalam perdagangan hingga diterapkannya tanam paksa.
BAB VI PERJUANGAN PANGERAN DIPONEGORO, pangeran
Diponegoro adalah cucu dari bupati Pacitan. Nama kecilnya adalah Raden Mas
Ontowiryo. Sejak kecil dia dibekali dengan berbagai ilmu keagamaan yang kuat
dimana dia mempelajari kitab-kitab seperti al-quran, Nasihatul Muluk, babad
Majapahit dal lain-lain. Sehingga ia menjadi ahli islam maupun tata
pemerintahan kerajaan. Pada tengah tahun 1825 seluruh Jawa Tengah telah siap
untuk peperangan, yang didalamnya terdapat Pangeran Diponegoro. Hal ini
didasarkan atas keadaan politik sosial dan ekonomi serta yang terpenting adalah
adanya patok-patok diatas makam leluhurnya di Tegalrejo. Dengan berlandaskan
perjuangan suci dan semangat juang Pangeran Diponegoro maka perangpun dimulai
dan menjadi salah satu langkah menuntut kemerdekaan.
BAB VII CITA-CITA PERANG JAWA, perang suci yang berlangsung selama 5 tahun
ini memiliki cita-cita perjuangan yang mulia dimana perang kemerdekaan
membebaskan kawula dasih dari kekuasaan penjajah Belanda. Tujuan perjuangan
suci yang dimaksudkan adalah untuk mengarah pada suatu negara merdeka dan suatu
masyarakat baru. Cita-cita ini tidak terlepas dari peranan seorang Pangeran
Diponegoro yang begitu kuat dalam hal pengetahuan, strategi perang yang menjadi
kekuatan sebuah peperangan. Sehingga ilmu gelar perang suci jawa pun belum dipelajari
karena hanya dapat diterima oleh para ahli siasat dan ahli sejarah. Dengan
siasat yang luar biasa maka markas perjuangannyapun berada di Gua Selarong
sebagai benteng pertahanan.
BAB VIII PENGARUH PERANG KE SELURUH
NUSANTARA, dalam suasana perang yang
sedang berkecamuk, pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai kepala negara dengan
gelar Sultan Abdulhamid Herucakra, Amirul Mukminin, Sayidin Panatagama
Khalifatullah Tanah Jawa. Hal ini sebagai pelaksanaan dari cita-cita untuk
merdeka dengan pembentukan negara merdeka. Pengaruh positif dari adanya hal itu
maka beberapa Tlatah yang ada memberikan bantuan dan menentukan sikap terhadap
pangeran Diponegoro dengan cara ikut serta melawan Penjajah. Diantara Tlatah
itu adalah Tlatah Kedu dan Bagelan, dan terjadi peperangan di tlatah lain
seperti Tlatah Banyumas, Pekalongan dan Ledok, Tlatah Rembang-Bojonegoro.
BAB IX MENGGALANG KEKUATAN RAKYAT,
budi pekerti yang dilandaskan agama dan
adat pusaka menjadikan sosok Pangeran Diponegoro memiliki kharisma kepemimpinan
yang disegani. Dalam melakukan perjuangan, ada yang dilakukan dengan cara
peperangan dan damai. Situasi yang begitu hebat disekitar Yogyakarta maka
Diponegoro memperkuat pertahanan di Bagelan namun tercium oleh Belanda, lalu
membentuk pertahanan kembali di Kedu. Dan disinilah akhir riwayat perjuangan
dari seorang Pangeran Diponegoro.
BAB X PARA PEMIMPIN NUSANTARA,
kaitannya dengan perjuangan yang dilakukan pangeran Diponegoro, ada beberapa
tokoh yang terlibat langsung atau tidak dalam perang banyak memiliki peranan.
Seperti halnya kiai Mojo yang malah membelot ke pihak musuh. Ada pula yang
hingga di aniaya oleh musuh dalam perjuangannya seperti Pangerai Bei dan Jaya
kesuma hingga gugur. Serta Mangkubumi yang terpaksa harus memihak Belanda karena
dia sebagai Raja. Semua itu hanyalah sebuah dinamika dalam sebuah peperangan
yang begitu dahsyat. Kita lupakan dulu tentang Ppangeran Diponegoro dan tokoh
lain dalam perang Jawa, para pemimpin Nusantara lainnya adalah Sultan Hasanudin
dengan segala bentuk pemerintahan serta perjanjian yang dihasilkan yaitu
perjanjian Bongaya serta ada juga Sultan Iskandar Muda dari daratan Sumatera.
ANALISIS
Historiografi yang berkembang di Indonesia
tidak terlepas dari pengaruh luar yang masuk, mulai dari sejarah Bangsa
Indonesia sendiri yang pernah menjadi negara terjajah serta pengaruh dari
paham-paham yang pernah berkembang di dunia (Ideologi). Maka tidak heran jika
Taufik Abdullah (Mulyana, Darmiasti, 2009: 122) mengemukakan klasifikasi dari
Historiografi ini ada ”Sejarah Ideologis” dimana penulisan sejarah ini
didasarkan suatu lambang tertentu yang bisa diadakan untuk masa kini. “Sejarah
Pewarisan” adanya kisah kepahlawanan perjuangan kemerdekaan, serta “sejarah
akademis” dimana penulisan yang bukan berdasar ideologis dan filosofis, akan
tetapi memberikan gambaran yang didasarkan atas tradisi akademik.[1]
Jika
melihat buku yang berjudul ‘BANGSA
INLANDER’ Potret Kolonialisme di Bumi Nusantara, lebih cocok dan masuk
kepada sejarah pewarisan. Mengapa demikian? Karena apabila kita lihat isi dari
buku tersebut banyak menjelaskan kisah kepahlawanan perjuangan kemerdekaan
Indonesia yaitu tokoh Pangeran Diponegoro yang begitu dominan. Lima puluh
persen dari isi buku menjelaskan secara langsung tokoh Pangeran Diponegoro dan
sisanya membahas mengenai kompeni yang nantinya akan berkaitan dengan
perjuangan Diponegoro. Berbicara sejarah pewarisan ini erat sekali kaitannya
dengan sikap patriotisme seorang pahlawan atau tokoh dalam perjuangannya
menentang segala bentuk penjajahan yang ada. Bagimanapun hambatan dan tantangan
yang dihadapi, rela menderita baik secara fisik maupun psikis.
Dalam penulisan sejarah pada tahapan
historiografi, seorang sejarawan mengerahkan seluruh daya pikirannya, bukan
saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi
penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisanya karena pada akhirnya harus
menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya
itu dalam suatu penulisan yang utuh[2]
(Sjamsuddin, 2012: 121). Menggaris bawahi pernyataan penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, ini erat kaitannya
dengan penulisan sejarah yang bersumber pada buku-buku, dimana selanjutnya akan
menghasilkan sebuah penulisan sejarah yang besifat neerlandosentrisme seperti
yang ditulis oleh Sanusi Pane dan Anwar Sanusi. Menggunakan pikiran-pikiran kritis, berkaitan pula dengan adanya
analisa bahwa dalam sejarah Indonesia memiliki sisi dan perananan dalam
membentuk sejarah panjang bangsa ini. Sehingga dari pemikiran kritis itu muncul
suatu penulisan yang bersifat Indonesiansentris bahkan ideologisme.
Penulisan yang indonesiasentrisme lebih
menekankan dari sudut pandang Indonesia. Peran bangsa Indonesia dalam panggung
sejarahnya adalah sebagai pelaku utama. Buku yang dikaji saat ini
memperlihatkan bagaimana penulisannya itu lebih memperlihatkan sisi
Indonesiasentrisnya serta klasifikasinya masuk kedalam sejarah pewarisan. Hal
ini dpat dilihat dari berbagai pernyataan kalimat yang menunjukan demikian.
Ketika orang Eropah
berlomba-lomba datang ke Nusantara untuk mengembangkan perdagangannya dan orang
Belanda disamping itu juga akan merintis penjajahannya. Indonesia bukanlah
negeri yang kosong dan penduduknya bukanlah orang-orang yang biadab; di
Indonesia sudah ada kerajaan-kerajaan yang mempunyai peradaban tinggi dan
umumnya sudah beragama islam.[3]
Kutipan diatas mencerminkan
bagaimana kebesaran negeri Indonesia, segi peradaban maupun agamanya jauh-jauh
sebelum kedatangan bangsa eropa. Bangsa eropa dianggapnya sebagai bangsa biadab
yang merusak peradaban tinggi yang ada di Indonesia. Indonesia disiratkan bahwa
sebagai sebuah bangsa yang memiliki daya tarik, sehingga bangsa eropa
berlomba-lomba berdatangan.
Karakter orang-orang Belanda, dimata
masyarakat sudah terlihat licik dan tidak tahu balas budi. Tidak memikirkan
jangka panjang mengenai keberadaan dia di nusantara ini.
Diantara
negeri-negeri awal yang di injak oleh orang Belanda adalah Banten. Perkenalan
pertama terjadi tahun 1596, dengan kedatangan kelengkapam kapal-kapal yang
dipimpin oleh Houtman tidak menimbulkan perasaan yang baik. Penerimaan yang
ramah-tamah dengan penghormatan yang pantas, dibalas oleh Houtman dengan sikap
yang jauh dari sopan sehingga menimbulkan perkelahian.[4]
Sikap seperti itu bukan mencerminkan
kepribadian bangsa dan masyarakat Indonesia, sehingga patas saja kalau Banten
tidak menyukai hal itu dengan memberikan sinyal ketidak sukaaannya itu dengan
penentangan.
Tanggal 27 November
1609, Pieter Both diangkat sebagai Jenderal untuk mengatur pemerintahan di
Indonesia dibantu Dewan Hindia, yang terdiri dari 5 anggota. Kewajiban pertama
Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia itu ialah menyelidiki keadaan di seluruh
kantor-kantor, tentang sikap raja terhadap kompeni,.....[5]
Orang Inggris, Portugis, dan Spanyol
diusir dari Indonesia atau daerah-daerah lainnya. Yang diingini oleh kompendi
Belanda adalah pengusiran dengan perantara raja-raja yang telah dikalahkan
kompeni...[6]
....perjuangan melawan kompeni
Inggris, Portugis, dan Spanyol, peperangan dengan raja-raja di Indonesia.
Penentangan dari kalangan pegawai kompeni...[7]
Sebuah kapal berangkat ke Indonesia,
membawa orang-orang yang akan bekerja sebagai pegawai sipil atau prajurit.
Daftar nama-nama mereka diterima oleh pembesar di Batavia. Dibelakang nama-nama
itu kadang-kadang nampak tanda H. H. H. Singkatan Houd Hem Hier. Artinya tahanlah
dia disini...[8]
Penggunaan
istilah bagi penyebutan bangsa ini tidak lagi menggunakan istilah
Hindia-Belanda, tetapi sudah adanya kata Indonesia. Jika kita lihat kembali
sejarah bahwa kata Indonesia ini muncul disekitar pergerakan Indonesia yaitu
awal abad ke-20an. Dalam buku ini istilah Indonesia menjadi istilah dalam
penyebutan Hindia-Belanda yang sering ditulis diberbagai buku sejarah untuk
menyebut Nusantara saat itu. Untuk istilah Hindia-Belanda sendiri bahkan hampir
tidak ada, sehingga dalam hal ini menjadi suatu penulisan yang memang
Indonesiasentrisme.
Kompeni adalah bangsa asing yang
suka merampas hak yang lain dan berlaku kejam terhadap bangsa Indonesia maupun
bangsa asing lainnya. tidak sedikit orang menderita dan kehilangan sebagian
harta bendanya dan menjadikan bangsa lain itu marah dan tidak suka kepada
kompeni.
.... Pieter
Erberveld mengepalai suatu gerakan, terdiri dari bangsa Indonesia dan
orang-orang belian dengan maksud membunuh semua bangsa Belanda.... dia memiliki
tanah warisan dari ayahnya, dan dia menaruh dendam karena tidak sedikit tanah
warisan itu yang dimiliki oleh pemerintah...[9]
Ia mendapat intruksi menjalankan
Tanam Paksa, ialah suatu cara pemungutan pajak yang tidak berlainan dari cara
lama dalam zaman VOC. Aturan baru ini disebut Tanam Paksa (Cultuurstelsel).[10]
Rakyat di Jawa dipaksa menanam
tanaman yang belum diketahui sebelumnya, sehingga tidak sempat memelihara
tanamannya sendiri. sebab jika mereka ini melalaikan pekerjaannya untuk
kepentingan Tanam Paksa, sinder-sinder Belanda dan mandor-mandor Inlander sudah
siap sedia untuk menghantam pak tani dengan pukulan rotan yang amat ditakutinya
itu.[11]
Perlawanan kepada penjajah merupakan sebuah
perjuangan yang memiliki semangat yang tinggi, dengan sikap kepahlawanan serta
memiliki tekad suci dengan berlandaskan agama. Semangat juang untuk mencapai
sebuah kemerdekaan negara dari belenggu penjajah. Hal ini ada pada sosok
Pangeran Diponegoro yang melakukan perlawanan dan perjuangan bercita-citakan
sebuah kemerdekaan.
Peperangan yang
bertlatah-tlatah itu adalah suatu langkah dan suatu ragamnya menuntuk
kemerdekaan dengan jalan menumpahkan darah musuh dan darah angkatan Rakyat.
Dalam lingkaran ini, maka peperangan yang bermula di tanah Jawa Tengah di
sekeliling kraton Yogyakarta itu ialah peperangan yang mempertaruhkan
kemerdekaan bangsa...[12]
Tujuan perang suci Jawa selalu
diarahkan kepada suatu negara merdeka dan suatu masyarakat baru...... dan
masyarakat akan diatur kembali menurut agama dan adat.[13]
Perjuangan Pangeran Diponegoro menghadapi penjajah
ketika memang berlandaskan agama, seperti kita ketahui bahwa dia sejak kecil
sudah terjun dan menggeluti agama, khususnya agama islam. Hal ini memungkinkan
bahwa semangat keagamaan denga jihad nya menjadi pemicu heroiknya kepahlawanan
dari Pangeran Diponegoro.
Dalam kaitannya dengan sejarah
pewarisan, dalam buku ini membahas bagaimana kisah kepahlawanan pejuang
kemerdekaan yang dimana Pangeran Diponegoro orang yang dimaksud. Dia berhasil
membunuh Letnan Belanda ketika peperangan baru dimulai.
.... Maka sejak saat itu, tanggal 16 juni
1825, maka mulailah Kanjeng Pangeran Diponegoro membalas dendam kekerasan
dengan senjata. Peperangan dimulai, dan seorang Letnan Belanda mati. Untuk
membalaskan kekalahan ini maka datang kaveleri dengan barisan berkuda, rumah
dan harta Kanjeng Pangeran Diponegoro dirusak dan Tegalrejo dibakar..[14]
Sikap patriot yang ditunjukkan
membawa sebuah semangat. Ini mencerminkan bahwa jiwa kstaria yang dimilikinya
membawa pada sebuah perjuangan yang lebih kuat lagi.
Di Tengah jalan antara Tegalrejo dan
Slarong, pemimpin Kanjeng Pangeran Diponegoro berhenti diatas turangganya,
tangan kirinya memegang tombak yang berjejak ke tanah. Matanya memandang dengan
penuh perasaan, menuju ke rumah dan mesjid sedang terbakar, dibakar oleh
serdadu Belanda dibawah pimpinan Khaveleri. Pada waktu itu beliau berkata
kepada pamannya Mangkubumi, Paman, lihat rumah dan mesjid sedang terbakar, api
merah menyala-nyala ke atas langit. Kini ditak berumah lagi diatas dunia!”
kalimat itu diucapkan sebagai orang yang tidak berkampung halaman lagi, dan
sebagai orang yang mengabdikan diri sepenuhnya kepada perjuangan kemerdekaan.[15]
Hal diatas lantas tidak menyurutkan
perjuangan dari seorang diponegoro dalam memperjuangkan kemerdekaan.
KESIMPULAN
Penulisan sebuah buku, dalam hal
historiografinya sangat dipengaruhi oleh berbagai hal. Mulai dari penggunaan
sumber atau referensi, kutipan-kutipan, pemikiran penulis hingga pengaruh
politik yang sedang berjalan. Dengan memahami konsep dan klasifikasi dari
historiografi ini kita akan mengerti maksud dari penulisan buku ini. Adanya
suatu causalitas atau hubungan sebab
akibat antara tujuan yang ingin disampaikan melalui isi buku ini dengan
pengaruh disekitar penulisannya. Ada dua pendekatan atau klasifikasi yang
digunakan dalam penulisan buku yang berjudul “‘BANGSA INLANDER’ Potret
Kolonialisme di Bumi Nusantara”. Yang pertama bahwa buku ini termasuk kedalam
historiografi sejarah pewarisan. Mengapa demikian? Karena setelah dianalisis berdasarkan
makna dan arti dari sejarah pewarisan itu sendiri, membahas bagaimana kisah
kepahlawanan pejuang kemerdekaan Indonesia. Tujuannya agar pembaca memiliki
jiwa patriotisme yang tinggi sesuai dengan apa yang dicontohkan atau
digambarkan dalam alur kisah di buku tersebut. Yang kedua, penulisan sejarah
yang bersifat Indonesiasentrisme. Arah dari penulisan ini tiada lain untuk
memberikan suatu kebanggan terhadap perkembangan sejarah Indonesia. Dengan
maksud bahwa Indonesia bukan hanya sebagai negara terjajah, tetapi disisi lain
memiliki kebesaran dalam hal perjuangan kemerdekaan negara. Dan melihat
bagaimana Belanda dari kacamata kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Anshoriy, HM Nasruddin.
(2008). ‘Bangsa Inlander’ Potret
Kolonialisme di Bumi Nusantara. Yogyakarta: LKIS.
Mulyana, Agus. dan
Darmiasti. (2009). Historiografi Di
Indonesia. Bandung: Rafika Aditama.
Sjamsuddin,
Helius. (2012). Metodologi Sejarah.
Yogyakarta: Ombak.
.
[1]
Mulyana, Agus.
dan Darmiasti. (2009). Historiografi Di
Indonesia. Bandung: Rafika Aditama, hal. 122.
[3]
Anshoriy, HM
Nasruddin. (2008). ‘Bangsa Inlander’
Potret Kolonialisme di Bumi Nusantara. Yogyakarta: LKIS, hal. 15.
[4]
Ibid., hal. 22-23.
[5]
Ibid., hal. 19.
[6]
Ibid., hal. 20.
[7]
Ibid., hal. 49.
[8]
Ibid., hal. 76.
[9]
Ibid., hal. 63.
[10]
Ibid., hal. 84.
[11]
Ibid., hal. 85.
[12]
Ibid., hal. 98.
[13]
Ibid., hal. 100.
[14]
Ibid., hal. 95.
[15]
Ibid., hal. 96.
Komentar