PERISTIWA 10 NOVEMBER SEBAGAI PERJUANGAN HEROIK RAKYAT INDONESIA


            Sebuah peristiwa secara tidak langsung ada sisi unik dan menarik yang membedakan antara peristiwa yang satu dengan yang lainnya. Begitupun dengan peristiwa 10 November sebagai salah satu peristiwa perjuangan yang heroik. Banyak hal-hal yang menarik yang patut kita pelajari secara lebih jauh lagi. Dimana peristiwa ini tidak terlepas dari peristiwa sebelum-sebelumnya yang saling berkaitan. Hal lain yang tidak kalah menariknya bahwa sering terjadinya sebuah perundingan namun mendapatkan hasil kegagalan. Untuk mengetahui secara jelasnya mungkin bisa dipaparkan dalam pembahasan selanjutnya.
Latar Belakang Terjadinya Peristiwa
            Peristiwa 10 November yang sering kita kenal dengan pertempuran Surabaya merupakan buntut atau kelanjutan dari kejadian-kejadian yang sebelumnya bergulir. Salah satunya adalah perebutan kekuasaan dan senjata dari tangan Jepang yang dimulai sejak tanggal 2 September 1945. Perebutan ini membangkitkan suatu pergolakan, sehingga berubah menjadi situasi revolusi yang konfrontatif (Notosusanto, 1993: 110). Insiden di Hotel Yamato dengan dikibarkannya bendera Belanda dengan merah, putih dan biru mendapat reaksi yang sangat keras pula dari rakyat surabaya. Ditambah lagi dengan adanya sebuah penghianatan yang dilakukan tentara sekutu terhadap rakyat Indonesia ketika mereka melakukan pendaratan di Surabaya. Selain itu yang menjadi latar belakang pecahnya pertempuran Surabaya ini tidak terlepas dari seorang tokoh yang bernama Jenderal Mallaby. Titik puncak ketegangan terjadi setelah terbunuhnya Jenderal Mallaby yang penyebabnya karena dibunuh oleh orang Indonesia. Sehingga keluar sebuah ultimatum untuk rakyat Surabaya dari pihak sekutu. Ultimatum inilah yang membangkitkan kegeraman dari rakyat Surabaya saat itu. Dan pertempuranpun tidak terhindarkan lagi.
Berlangsungnya sebuah revolusi dengan puncaknya tanggal 10 November 1945,  Surabaya dijadikan sebagai tempat ajang pertempuran yang sangat dasyat sehingga dapat dikatakan menjadi titik tolak perjuangan dan perlawanan nasional. Tercatat selama dalam pertempuran Surabaya dari pihak Republik Indonesia banyak kehilangan tenaga manusia dan senjata, tetapi perlawanan yang mereka lakukan ini merupakan bentuk pengorbanan atau rasa nasionalisme yang harus dijung-jung tinggi kebesarannya oleh kita semua karena telah menciptakan lambang dan benih persatuan demi revolusi. Dapat dikatakan pula bahwa pertempuran Surabaya ini juga merupakan titik balik bagi Belanda karena, atas dasar perstiwa tersebut telah memberikan kejutan kebanyakan dari mereka dalam menghadapi suatu kenyataan. Panglima senior Jepang Laksamana Madya Shibata Yaichiro memihak Republik hal ini dibuktikan dengan dipersenjatainya orang-orang Indonesia yang berasal dari gudang senjata mereka, namun pada saat kapten angkatan laut Belanda menadarat dan tiba di Surabaya sebagai wakil dari sekutu yang pertama, pada tanggal 3 Oktober panglima Jepang Shibata pun menyerah. Selanjutnya para Pimpinan Nahdatu Ulama dan Masyumi menyatakan bahwa perang mempertahankan tanah air adalah perang sabil, bahkan seorang Soetomo atau Bung Tomo menggunakan radio setempat untuk menimbulkan suasana semangat revolusi ke seluruh pelosok kota (Ricklefs, 2008: 456).
Jalannya Peristiwa
            Persinggungan yang mengarah pada sebuah pertempuran dengan puncaknya pada tanggal 10 November 1945 dimulai sejak ditetapkannya pengibaran merah putih dari tanggal 1 september secara serempak diseluruh wilayah Indonesia. Pada tanggal 18 September beberapa orang-orang Belanda mengibarkan bendera Belanda di hotel Yamato/hotel Orange. Melihat kejadian ini, para pemuda merasa tertantang dan marah karena merasa dilecehkan oleh Belanda yang dianggap telah menghina kedaulatan negara Indonesia setelah proklamasi 17 agustus 1945. Setelah insiden ini maka meletusnya pertempuran yang pertama antara Indonesia dengan tentara Inggris. Namun pertempuran ini masih skala kecil.
Pada  tanggal 25 Oktober 1945, Brigade 49 Inggris dibawah pimpinan Brigadier A.W.S Mallaby dan  Divisi India ke-23 di bawah  pimpinan Mayor Jendral D.C  Hawtron.mendarat di Surabaya. Mereka menerima tugas  dari  panglima AFNEI untuk melucuti serdadu Jepang dan menyelamatkan interniran sekutu. Kedatangan mereka diterima dengan penuh kecurigaan oleh gubernur Jawa Timur R.M.T.A. Soerjo. Lalu mengadakan sebuah pertemuan antara wakil-wakil pemerintah RI dengan Brigadier A.W.S Mallaby  telah mencapai kesepakatan diantaranya:
1.      Inggris berjanji bahwa di antara tentara mereka tidak terdapat Angkatan Perang Belanda;
2.      Kedua belah pihak akan bekerja sama untuk menjamin keamanan dan kententraman;
3.      Akan  segeran dibentuk “Kontract Bureu”( Kotak Biro) agar kerjasama dapat terlaksana dengan baik sebaik-baiknya;
4.      Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang (Notosusanto, 1993:  111).
Kesepakatan itu dibuat dengan tujuan agar tidak adanya persinggungan kembali seperti halnya kejadian sebelum-sebelumnya. Akan tetapi jika dilihat bahwa setiap perundingan yang dilakukan selalu nihil dan mendapatkan hasil berupa pengkhianatan yang dilakukan secara sepihak. Sebagai contoh lagi pada tanggal 26 Oktober 1945 pihak Inggris mengingkari kesepakatan, karena ternyata di dalam tentara mereka terdapat tentara Belanda yang membonceng, sebanyak satu peleton dari Flied Security Section  dibawah pimpinan Kapten Shaw, melakukan penyerangan ke penjara Kalisosok  untuk membebaskan tawanan Belanda Kolonel Huiyer, seorang kolonel Belanda, dan kawan-kawannya yang di tawan Indonesia. Kemudian Inggris dengan sengaja menduduki lapangan terbang Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio, Pusat Kereta Api dan tempat-tempat lain yang secara jelas telah melanggar perjanjian sebelumnya (Notosusanto N., 1995: 32).
Setelah terjadinya pendudukan beberapa tempat, maka mengeluarkan sebuah ultimatum terhadap rakyat Indonesia agar menyerahkan kembali senjata-senjata hasil perebutan dari tentara Jepang kepada Inggris. Jika tidak di indahkan maka Inggris akan melakukan penembakan sehingga selanjutnya timbul insiden terbunuhnya Mallaby. Pada tanggal 29 Oktober tempat-tempat yang sudah dikuasai oleh sekutu kembali lagi dilumpuhkan dan direbut oleh para pemuda. Kemudian dilanjutkan dengan adanya perundingan kembali pada tanggal 30 oktober 1945 dengan hasil untuk menyelamatkan pasukan Mallaby.
Dengan terbunuhnya Mallaby, pihak Inggris meminta pertanggung jawaban Indonesia  dan juga  memperingatkan bagi rakyat Surabaya agar mereka menyerah, pengumuman ini dibacakan oleh Jendral  Christison panglima AFNEI pada  tanggal 31 Oktober 1945. Apabila tidak menyerah maka Surabaya akan dihancur leburkan. Rakyatpun tidak memenui tuntutan yang dimaksud. Melalui kantor biro  Indonesia mengumumkan bahwa kematian Mallaby adalah akibat kecelakaan, tidak dapat dipastikan apakah akibat tembakan rakyat atau akibat tembakan tentaranya sendiri.
            Setelah kematian Mallaby, pihak Inggris mendatangkan pasukan-pasukan baru di   bawah pimpinan Mayor Jendral E.C Mansergh. Pada tanggal 7 November, Mansergh menulis surat kepada Gubernur Soeryo berisi tuduhan bahwa Gubernur Jawa Timur Soeryo tidak bisa menguasai keadaan karena seluruh kota telah dikuasai oleh para perampok. Sebutan perampok ini memang sebuah sebutan bagi rakyat surabaya yang dikeluarkan oleh pihak sekutu. Pada tanggal 9 November 1945 gubernur Soeryo membatah semua tuduhan yang dilontarkanoleh Mansergh melalui surat jawaban yang disampaikan oleh utusan yaitu resimen Sudirman dan Roeslan Abdulgani. Setelah menerima surat itu Inggris  membalas dengan memberikan dua buah surat, salah satu suratnya tertanggal 9 November 1945 yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal E.C Mansergh berisi ultimatum kepada rakyat  Indonesia di  Surabaya. Isi  dan maknanya merupakan sebuah penghinaan terhadap martabat dan harga diri bangsa Indonesia. Penghinaan ini memiliki kemiripan seperti halnya dengan peristiwa sebelumnya ketika adanya insiden di hotel Yamato mengenai pengibaran bendera Belanda. Pemuda-pemuda bersenjata diharuskan menyerahkan senjatanya dengan berbaris dan membawa bendera putih dan batas waktu yang ditentukan adalah pukul 06.00 sore pada tanggal 10 November 1945. Apabila lewat batas waktu itu tuntutan tidak di penuhi, Inggris akan mengerahkan seluruh kekuatan darat, laut dan udara.
            Dengan semangat jihad maka pertempuran melawan penjajahan barat, diyakini sebagai mati yang indah , gugur sebagai syuhada.” (Suryanegara, 2010: 210). Sehingga tanggal 10 November 1945 ini merupakan puncak kulminasi perjuangan arek-arek Suroboyo, para ulama dan santri bersama-sama menyatakan sikap berperang melawan tentara Sekutu. Pertempuran secara heroik telah terjadi, bumi Surabaya berubah menjadi lautan api dan darah. Semangat para pejuang terus  berkobar setelah sebelumnya mendengar pidato Bung Tomo. Dalam waktu tiga hari,  hampir separuh dari kota  dikusai oleh pihak Inggris, walaupun demikian semangat arek-arek surabaya beserta para laskar-laskar tak pernah padam ini dibuktikan  dalam berita yang yang dimuat dalam koran Kedaulatan Rakyat bahwa tentara sekutu Inggris sejak awal perang di Surabaya sampai dengan 17 November 1945  menderita kerugian berupa jatuh tertembaknya tujuh buah  pesawat Thunderbolt oleh serangan penangkis Udara dari pihak  Indonesia .
            Setelah mengalami pertempuran yang cukup panjang, banyak kerugian yang dirasakan dan banyak korban. Sehingga Pertempuran yang terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya telah memperlihatkan bagaimana perjuangan heroik rakyat Indonesia secara umum dalam mempertahankan harga diri bangsa ketika kedaulatan negara dirasa terancam. Sangat pantas sekali bahwa kita sebagai warga negara yang cinta akan sejarah masa lalu seyogyanya memperingatinya sebagai hari Pahlawan yaitu tanggal 10 November.
Dampak yang Ditimbulkan Pasca Pertempuran
Banyak hal yang terjadi ketika pertempuran berlangsung, banyak hal pula pengaruh yang dirasakan. Seperti halnya sebuah ungkapan bahwa revolusi banyak memakan korban, baik material maupun nyawa iu sendiri. dan dalam sebuah peristiwa selalu ada sebuah konsep kausalitas dimana adanya hubungan sebab dan akibat. Sehingga dalam peristiwa inipun memiliki dampak yang cukup besar bagi masyarakat dan kota Surabaya sendiri. mulai dari sekurangnya ada 6000 orang yang tewas, dan meninggalkan puing-puing bangunan yang hancur akibat dihantam senjata-senjata tentara sekutu maupun dari pihak Indonesia sendiri. Selain itu juga pertempuran 10 November 1945 ini menjadi titik balik bagi Belanda, karena peristiwa itu telah mengejutkan kebanyakan dari mereka dalam menghadapi kenyataan. Banyak dari mereka telah benar-benar merasa yakin bahwa Republik hanya mewakili segerombolan kolaborator yang tidak mendapat dukungan rakyat (Riklefs, 2010: 457).
Dampak lain yang dirasakan adalah bagaimana jeritan para keluarga yang menjadi korban. Serta banyak para pedagang Indonesia yang dengan susah payah telah mengumpulkan harta bendanya secara sedikit demi sedikit meninggalkan kekayaannya mencari tempat yang lebih aman dan jauh dari tentara asing yang hendak menjajah kembali (Soetomo, 2008: 145).




DAFTAR PUSTAKA

Notosusanto, M. D. (1993). Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Notosusanto, N. (1995). Pertempuran Surabaya. Jakarta: Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI.
Ricklefs, M. (2008). Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi.
Suryanegara, A. M. (2010). Api sejarah Jilid 2. Bandung: Salamadani.
Sutomo. (2008). Pertempuran 10 November 1945. Jakarta: Visimedia.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertanyaan Mengenai KTSP

Makalah Peranan Pendidikan Dalam Kehidupan Masyarakat

PERAN AKTIF INDONESIA PADA MASA PERANG DINGIN