Raja, Priyayi dan Kawula
Raja
Raja adalah seseorang yang memiliki
kedudukan yang beda dari orang biasanya dan dianggap bahwa raja adalah utusan
dewa. Semua apa yang raja ucapkan maka rakyat menganggap benar da harus patuh
serta tunduk.
ü
Pakubuwono
Pakubuwono
merupakan putra mahkota Mataram yang diangkat sejak usia 3 tahun. Ia bergelar
KGPA Anom Amangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra Mataram. Dalam perkembangan
masanya seorang raja memiliki simbol-simbol yang diantaranya simbol politik,
dan simbol personal. Simbol Politik berisikan
dimana seorang raja harus selalu mempertahankan tradisi, mengembangkan
nasionalsme, religiusitas, interkultural dimana seorang raja harus tahu budaya
di luar kekuasaannya, serta seorang raja harus memiliki kepribadian yang baik
dan sesuai dengan tatakrama yang berlaku. Simbol
Personal seorang raja memiliki kewenangan tersendiri dimana dia sebagai
kawula gusti yang harus dituruti dan dipatuhi oleh semua rakyatnya. Dari segi
pakaian pun raja sangat berbeda dengan rakyatnya, setiap rakyat yang masuk ke
keraton tidak boleh memakai pakaian. Dari semua simbol-simbol di atas maka
jelas sekali bahwa seorang raja merupakan orang yang memiliki perbedaan dengan
orang-orang biasa.
Priyayi
Priyayi
adalah abdi dalem kerajaan. Seorang priyayi ini ada yang abdi dalem raja ada
pula yang lebih kepada bangsawan yang memiliki intelektual. Dalam
perkembangannya priyayi ini membentuk sebuah komunitas atau organisasi
tersendiri. Organisasi yang ada salah satunya adalah abipraya. Abipraya sendiri
adalah salah satu dari sekian banyak organisasi yang bertindak sebagai ekspresi
identitas sosial dan kultural suatu wilayah serta kekuasaan tertentu.
Ideologi
yang dianut oleh para priyayi ini adalah mistisme politik dan hedonisme.
Mistisme tersebut dapat kita lihat dengan kebijakan serta prilaku seorang
priyayi yang lebih mempertahankan tradisi yang ada. Sedangkan hedonisme
ditunjukan oleh prilakunya yang kemewah-mewahan. Seorang priyayi merupakan
orang yang memiliki hak istimewa dimana untuk menjadi seorang priyayi itu harus
ikut terlebih dahulu menjadi penakawan priyayi yang lebih senior. Itu
disebabkan karena posisi priyayi sangat menjanjikan hampir setara dengan PNS
saat ini, serta pengaruhnya bisa mendongkrak posisi mereka di masyarakat.
Kawula (sumur ajaib sebagai budaya
tandingan)
Berawal dari mimpi seorang perempuan
yang bertemu dengan makhluk lain, hal
itu menjadikan objek kajian sejarah. Dimana sejarah sebagai ilmu empiris itu
benar-benar dipergunakan dimana rasional tentu saja tidak akan menyatakan bahwa
laporan itu mempunyai kebenaran ontolagis. Artinya bahwa apa yang di lihat oleh
orang – orang itu sungguh terjadi. Budaya tandingan yang muncul merupakan
alternatives dari pengaruh kekuasaan dan dominasi budaya keraton yang sudah
mengakar. Tandingan terhadap dominasi itu tampak di sana sini dalam bentuk
kepercayaan – kepercayaan aneh yang sering dirasakan juga oleh para priyayi.
PERKAWINAN KEDUA
PB X, 1915: Budaya Afirmatif dan Budaya Kritis
Perkawinan
kedua yang dilakukan Paku Buwono merupakan perkawinan dengan tujuan ingin
memiliki keturunan anak laki-laki yang kelak akan menggantikan tahtanya.
Meskipun Paku Buono X sudah lama menikah dan mempunyai beberapa anak laki-laki
dari isteri-isteri lain, bahkan satu diantaranya sudah diangkat menjadi putera
mahkota, tetapi Sang Permaisuri belum juga melahirkan anak laki-laki calon
raja. Maka Sang Raja pun pada tahun 1915 memutuskan untuk mencari permaisuri
baru. Dan pilihan jatuk kepada puteri dari Sultan Hamengkubuana VII dari
keraton Yogyakarta. Untuk menghormati pernikahan itu tanggal 14 november 1915
SI di Solo mengadakan pertemuan di Sriwedari. Dalam pertemuan yang dihadiri
juga oleh para bangsawan, berbicara Ketua SI Solo Samanhudi dan orang-orang
lain, termasuk tokoh radikal Mas Mas Marco.
Budaya
afirmatif merupakan budaya dimana seseorang mendukung sebuah kekuasaan. Begitu
pun dengan budaya kritis adalah kebalikan dari budaya afermative. Kedua budaya
ini menjadi pegangan bagi Budi Oetomo yang afermative dan SI yang sudah kritis.
Komentar